"Baik buruk itu diksi pikiran yang terbangun (terkonstruksi) indera. Di luar pikiran, tak ada yang benar-benar buruk."_Jon Q_
Banyak hal yang harus manusia evaluasi dari pikirannya sendiri. Manusia, sejak ia mampu berpikir, diam-diam pikirannya tercipta (terkonstruksi) dari pengetahuan-pengetahuan inderawi yang rentan hancur/rusak. Banyak definisi-definisi yang sebenarnya itu justru membebani pikiran manusia sendiri. Banyak hal, dari apa yang manusia ketahui lewat inderanya, sebaiknya diukur, diolah ulang.
Contoh saat kita mulai sekolah. Baik buruk seorang anak mulai dibentuk oleh ukuran angka/nilai ujian pelajaran. Atau nakal tidaknya seseorang dilihat hanya dari subjek pelakunya saja. Sedangkan, kenakalan anak itu tidak mungkin dari dirinya sendiri. Seorang anak lahir dengan hati yang murni, lingkungannya-lah yang menjadikannya stress. Dan seorang guru, biasanya cenderung menghakimi 'an sich', hanya si siswa itu. Kita tak tahu, bisa jadi ternyata anak yang kita anggap nakal atau berandalan ternyata menjadi seseorang yang berpengaruh di masa depan. Lagi-lagi, pikiran kita dikerdilkan, disempitkan, karena memang pikiran kita terkonstruksi dari indera yang terbatas.
Perlu dipahami, untuk siapa saja anda di sana, nasib buruk itu bukan hanya anda saja yang sedang merasakan. Bisa jadi, tetangga, saudara, teman anda lebih buruk nasibnya, tapi mereka lebih besar rasa syukurnya. Hingga tak terdengar desah keluh kesah dari mulutnya. Nasib buruk, seperti halnya segala sesuatu di dunia ini, semua ada batas waktunya. Semua ada 'ajalnya'. Hanya manusia saja yang waktu hidupnya terbatas, tapi perilakunya cenderung melampaui batas. Nasib buruk, seperti segala sesuatu (selain manusia) di semesta ini, selalu taat. Mereka berbatas waktu, dan tak akan melanggar itu. Tapi, seakan pikiran manusia mendramatisir keburukan nasib yang menimpanya.
Bahkan iblis, jika anda ingin tahu, selama ia bersama laknat Allah, ia selamat. Tidak ada keburukan yang datang dari Allah. Termasuk kutukan-Nya pada iblis. Seperti seseorang yang membawa penyakit dari lahirnya. Mungkin ia mengeluh, kecewa, meratapi nasib atau membenci Tuhannya. Di sisi lain, ia tak tahu, bahwa derajatnya di hadapan Tuhan terus naik, dan dosa-dosanya tiap saat terampuni. Ia selalu suci. Atau, ia tak tahu, bahwa dengan derita itu, ia mensucikan keluarga besarnya, nasab ayah ibunya, dan menghalau musibah besar baik yang akan datang pada keluarganya atau bahkan desa dan kota-nya. Ia menjadi netralisator.
Maka, sudah saatnya manusia zaman ini me-reka ulang konstruksi pikirannya. Dari sumber data indera, ke sumber data akal atau bahkan rasa. Karena semesta tak sesempit yang dapat kita indera. Sumber data akal / bahkan rasa inilah yang kelak akan menciptakan pikiran yang lebih besar, lebih bebas, lebih indah. Kita menyebut itu surga.
Kamis, 28 April 2022 bulan ramadlan