"Disiplin dan kemapanan jiwaku merosot hanya dengan tiga bulan berada di tengah-tengah kaum intelektual disana. Sedih benar,"_Jon Quixote_
Si Jon sudah kembali ke kampung halamannya. Tiga bulan 'semedi' di tengah-tengah kaum intelektual jaman akhir, membuatnya membawa oleh-oleh pulang kampung : TBC-nya kambuh. Dari awal sudah dikerjai atasan, yang ternyata sebulan sebelum kontraknya selesai, sang atasan tersebut dipecat secara tidak terhormat. Honornya tidak ada transparansi, beberapa MoU tidak dipenuhi. Tapi, bagi si Jon lebih baik 'ngempet', daripada banyak protes tapi nanti yang terancam adalah posisi temannya yang digantikan sementara itu. Ending semua itu adalah si Jon tergeletak di masjid dekat tempat kerjanya. Badannya panas luar biasa. Dalam hati, ia berpikir tak akan sampai ke rumah istrinya, alias mati disana. Dengan perjuangan seperti biasa, berjalan sempoyongan, muntah-muntah, memesan ojek online secara estafet - uangnya habis karena itu, ia akhirnya sampai di rumah. Dan langsung tak sadar diri dari sore sampai subuh.
Sekitar tiga hari setelah ia membaik, Jon minta pulang ke kampung. Dalam kondisi yang masih sakit, ia memaksakan diri. Begitu banyak beban yang terasa pedih ia alami disana. Menejemen pikiran yang telah ia kuasai gagal membendung luapan emosinya. Kemapanan spiritual yang ia miliki pun hilang. Kini ia pulang ke kampung seperti seorang gelandangan yang miskin, bodoh, dan fasik.
"Aku miskin, bodoh, dan fasik, Tuhanku," gumam Jon yang sudah beberapa Minggu tak sholat. "Engkau nyaris meminta semua kenyamanan itu. Berdekatan dengan anak-istri, rejeki yang jelas, akal yang cerdas, fisik yang sehat, bahkan ibadahku. Semua itu... ah, Tuhanku, Engkau ingin apa lagi dari tubuhku?"
Si Jon bukan sedang sedih atau marah pada Tuhannya. Ia sedang bermesraan, sekalipun dalam halusinasinya sendiri. Bagaimana mungkin Tuhan mau mendengar seorang hina yang miskin, bodoh, dan fasik? Seringkali ia diberikan bayangan kehidupan yang nyaman di masa depan. Tapi tiap bayangan itu datang, tiap saat itu juga ia menolak.
"Dunia ini sampah. Hanya seperti itu saja. Manusia direndahkan, dihina, merasa sedih dan pedih, lalu waktu membawanya ke atas. Hidup nyaman, semua terasa mudah, lalu merasa itu semua adalah hasil dari masa lalunya yang kelam. Itu layak, menurutnya. Ah, apa enaknya hidup tanpa menyelamatkan banyak orang? Apa enaknya jika ternyata hidup nyaman kita adalah tentang seberapa rapat mata kita tertutup dari derita banyak orang? Hidup ini benar-benar gak asik," katanya sembari berbaring menikmati TBC-nya.
Setiap orang punya tempat masing-masing di dunia ini. Tempatnya si Jon, dari pengalaman tiga bulan kemarin, makin jelas ia bukan dari golongan 'pemangsa'. Manusia-manusia yang saling memangsa ketika merasa berkuasa. Dia tak pantas bertempat di wilayah banyak cuan, berpakaian rapi, nampak elite, namun menutup mata dari begitu banyak kontradiksi hidup yang tak diperlihatkan disana. Benar-benar manusia purba, yang lebih memilih hidup dalam kesunyian dan berteman halusinasi-halusinasinya sendiri. Benar-benar orang yang miskin, bodoh, dan fasik.
Selasa, 16 November 2021