Esai Ramadan 7
"Hanya pada guru yang telah dianugerahi petujuk (Allah) saja kau boleh belajar tanpa tanya."_Gurunya si Jon_
Saat Musa ditanya oleh umatnya, "Wahai nabi Allah, adakah orang yang lebih mengerti daripada engkau?"
Musa pun menjawab, "Tidak ada," lalu seperti nabi dan kekasih Allah lainnya, ketika ia ceroboh menunjukan kekhilafannya, Allah turun tangan untuk menjewernya.
"Wahai Musa, datangilah hamba-Ku yang bernama Khidir." kata Allah. Dalam dialog abadi inilah, Musa kalah telak dalam hal hakikat, namun secara syariat Musa memang benar. Secara hakikat, manusia tak punya pilihan tak punya kehendak. Semua adalah tindakan Allah. Secara syariat, mana mungkin kita diam saja saat ada orang yang akan membunuh orang lain. Apalagi anak kecil yang belum baligh. Dalam syariat, ilmu, yang benar dan yang salah, itu nampak jelas. Ilmu hakikat ini membuat akal linier 'oleng', mabuk, kebingungan. Dan petunjuk Allah-lah yang menjadi jalan tengahnya.
Ramadan ini, baru si Jon sadari bahwa selama ini, sejak ia pulang dari perantauannya mencari ilmu, ia dididik. Ia mendapat pendidikan 'tanpa tanya' senafas dengan kisah Musa di atas. Atau mungkin sejak kuliah?
'Kapal' penghidupan si Jon dibocori, hingga ia yang akhirnya hendak ke negeri Melayu sana, menjadi guru dengan honor 15 juta/bulan, batal. Entah apa yang terjadi jika ia mengambil takdir itu? Atau mungkin, memang Allah tak membolehkan, karena jika sudah menjadi 'pelayan-Nya', maka tak ada pilihan hidup untuknya : wa Kana lahumul khiyaroh. Atau mungkin juga, dengan kreatifitas dan produktifitas si Jon, ia akan 'dirampas' menjadi aset negeri tetangga itu. Seperti kisah kapal dalam cerita Musa dan Khidir di atas.
Si Jon akhirnya pulang kampung. Tak jadi 'melaut' ke negeri seberang. Di kampung, ia 'dibunuh', bahkan nantinya, berkali-kali. Ia sarjana S1, tapi membantu orangtuanya, melayani Tuhannya, menjadi tukang angon sapi. Seakan ia 'dibunuh' mimpi-mimpinya, angan-angannya, khayalan-khayalannya, setelah diracuni dengan semua ambisi dunia saat kuliah dulu. Ia dibunuh keinginan-keinginannya, hasrat anak mudanya, dipenjara, dalam pendidikan 'tanpa tanya' itu. Ia tak bisa bertanya pada ulama mana pun, mengapa takdirnya begitu? Karena di mata manusia, ia hanya terlihat sebagai anak muda kurus kurang makan yang berpikiran aneh. Sangat mungkin juga, gila. Saat Tuhan mencintai seseorang, Dia akan menjadikan seseorang itu aneh di mata manusia selama menjalani ketaatan kepada-Nya.
Setelah dibunuh impian, semangat, ambisi, motivasi hidupnya 'di dalam' kandang sapi, ia menjadi pemimpin madrasah miskin. Dan disinilah, ia mengalami 'pembunuhan' berkali-kali tanpa henti setidaknya 10 tahun itu. Ia dibunuh, bahkan sampai ke kordinat nafasnya pun, tak boleh diarahkan ke arah yang tak dibolehkan Tuhannya. Ia boleh salah, boleh memburuk, selama dalam kesadarannya pada Tuhan.
'Pembunuhan' berkali-kali itu sekaligus menegakan bangunan yang hendak roboh. Madrasah miskin itu adalah warisan para leluhur yang Sholih. Bapak dan kakek si Jon mewakafkan banyak tanah untuk pendidikan Islam. Untuk syiar. Dan jika itu roboh, maka akan ada warisan peradaban anak cucu yang akan hilang. Selama 10 tahun itu ia mati-matian memperjuangkan itu, jihadu fi Sabilillah bi anfushikum wa amwalikum. Tapi, si Jon bukan Musa, apalagi Khidir. Ia kini menjadi pengangguran setelah mengundurkan diri dan menyerahkan tanggungjawab itu kembali pada kakaknya.
Jauh sekali dari apa yang dikisahkan di awal. Si Jon hanya pemuda biasa, yang bertingkah aneh, atau lebih tepatnya, gila. Ia tidak sedang dalam pengajaran Khidir, dalam pendidikan 'tanpa tanya' beliau. Yang ia pelajari adalah buku-buku anak sekolah, sebatas data, bukan ilmu-ilmu 'langit'. Dan dari apa yang ia pelajari, orang-orang sekitar menyebutnya sebagai : kamatsalil himari yahmilu asfaro. Keledai yang membawa banyak buku.
Jumat jam 2 pagi, 15 April 2022