Dalam kelelahan malam itu, di antara sadar dan tertidur, si Jon bertemu gurunya - sangat mungkin itu halusinasi.
"Adakah yang berubah di tahun ini, Jon," tanya sang guru mengawali. Mereka duduk dengan kondisi yang sangat damai.
"Perubahan apa yang Jenengan maksud, Guru?" tanya balik Jon.
Sang guru paham, si Jon masih terjerat 'logika mekanik' (linier), jadi akan sulit melihat fokus apa yang gurunya maksud.
"Apakah ada kebaikan yang datang di awal tahun ini?" tanya gurunya lagi.
Jon termenung.
Akal pikirannya 'tersesat' pada kesimpulan, bisa jadi yang ia anggap kebaikan adalah keburukan, dan bisa jadi apa yang ia anggap keburukan justru adalah hal terbaik untuknya.
"Bukankah Jenengan yang mengajariku, seluruh apa yang Allah takdirkan adalah kebaikan?" jawab Jon.
Sang guru tersenyum, "Apakah sudah nampak jalan kemudahan hidup yang kau harapkan itu?"
Jon terdiam.
"Apakah di hatiku masih begitu nampak harapan-harapan pada dunia ini?" jawab Jon dengan pertanyaan lagi. "Apakah aku masih terlalu lemah sampai aku begitu mengharapkan hidup ini berjalan mudah?"
Sang guru tersenyum lagi.
"Apa kau sudah menerima pesanku?" tanya guru Jon lagi. "Tentang garis (cara berpikir) para penduduk cahaya?"
"Sudah, Guru," jawab Jon. "Tapi aku belum mengerti, apakah itu bermanfaat (berfungsi) untuk kami (manusia)?"
"Coba kau pahami lebih dalam," saran sang guru. "Doa, harapan, bahkan bersitan hati manusia itu seakan cara berdialog dengan Tuhan kita. Dan para penduduk langit-lah yang bekerja itu terwujud atau tidak,"
"Iya, tentang itu aku melihat," Jon menanggapi. "Bahwa cara berpikir mereka adalah garis pangkal ujung, seseorang berdoa meminta kaya, tapi jika ia berpotensi kekayaan itu justru membuatnya hina, mengambil jalan (serabut) takdir yang menyiksanya, maka amal kebaikannya akan membuat mereka (penghuni cahaya) untuk membuat doa itu terwujud perlahan atau bahkan nanti ketika setelah mati," Jon mencoba memaknai. "Tapi bagaimana jika seperti aku, Guru? Hidup terasa dipenjara. Antara kewajiban berbenturan dengan hak menjaga keseimbangan yang sama besar?"
"Awal tahun ini kau berbuat apa?" tiba-tiba gurunya mengalihkan tema obrolan.
"Ah, apa yang aku perbuat? Hanya rutinitas manusiawi." jawab Jon.
"Bukankah kau ada perbaikan di sekolah itu?" tanya gurunya lagi.
Nampaknya, guru si Jon juga tahu sore kemarin motornya mogok di tengah jalan, kehujanan, dan jalan ratusan meter mencari penjual bensin. Di kota kelahiran sendiri, punya keluarga, punya saudara, punya teman, bahkan beberapa pejabat pun dia kenal, tapi memilih menyelesaikan tantangan selalu sendirian saja. Dia punya pilihan menghubungi siapa saja untuk sekedar membelikan bensin, lalu menuju tempat mogok motornya. Tapi, dia memilih basah kehujanan dan berjalan kaki malam-malam mencari bensin.
Jon termenung lagi.
"Aku mengerti," kata Jon. "Semua tantangan itu adalah anak-anak tangga untuk aku mencapai tujuan tertentu. Aku tahu itu, guru," Jon menjelaskan. "Apa yang menjadikan seakan aku harus menunggu tanpa kejelasan batas waktu?" Jon melewatkan sisi terpentingnya.
"Ya, itu dia," kata gurunya.
"Apa?" tanya Jon.
"Kau tak menyadarinya?"
Jon mencoba mengamati kata-katanya sendiri. Dan tiba-tiba terdengar...
اَتٰىٓ اَمْرُ اللّٰهِ فَلَا تَسْتَعْجِلُوْهُ ۗسُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
Ketetapan Allah pasti datang, maka janganlah kamu meminta agar dipercepat (datang)nya. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (An Nahl : 1)
"Jika kau tak mampu sabar untuk mencapai sesuatu, jangan meminta sesuatu itu lebih dulu. Mintalah tambahan kesabaran kepada-Nya,"
Jumat, 12 Januari 2024