Diksi *menciptakan* ( خلق ) itu berbeda dengan *menjadikan* ( جعل ). *Menciptakan* itu bukan wilayah logika/akal manusia, sedangkan *menjadikan* adalah ruang eksplorasi akal kita. Memang demikian adanya, wilayah nubuwah (wahyu) berbeda dengan wilayah ikhtiar akal manusia. Kebenaran hakiki tak bisa dicapai oleh akal manusia. Akal hanya mampu *muthola'ah*, menaiki *anak-anak tangga* menuju titik ujung kebenaran. Tapi hakikat itu tetap dalam wilayah Tuhan yang di-nubuwahkan atau diilhamkan.
Pertanyaan *mengapa Tuhan yang awalnya tidak menciptakan, kemudian memulai penciptaan? Bukankah dengan itu berarti Tuhan berubah?* ini tidak relevan dengan konteks nubuwah. Sebab, pertanyaan seperti itu menandakan akal yang belum terilhami *pengajaran* dari Tuhan. Kita mengenal itu dengan konsep *Laduni*. Ketika akal sudah _wushul_, lalu tunduk di hadapan pengajaran Tuhan. Akal tidak dalam kondisi _ijtihadi_ / ikhtiar berfikir lagi, melainkan menerima pengajaran dari wilayah yang lebih 'gaib'. Akal yang tadinya berfungsi sebagai pengelola data, bertransformasi menjadi sebatas penerima / penampung 'data' dari langit. Kira-kira semacam itu analoginya tentang nubuwah / ilham.
Penciptaan semesta dalam enam (6) hari itu menjadi suatu hal yang tak dapat ditelusuri akal. Ibarat huruf hijayah tadi, kita hanya mampu menyusuri sampai ke huruf alif ( ا ). Dan mengapa huruf alif tercipta atau bagaimana kondisi sebelum huruf alif, itu bukan wilayah akal.
Wilayah huruf alif inilah yang disimbolkan sebagai *Al Qolam* (pena), ciptaan Tuhan yang pertama kali. Dalam terminologi enam (6) peradaban semesta yang saya hipotesakan, huruf alif atau al Qalam itu adalah *as sidra* atau *"Kesadaran"* Tuhan. Dan dari as sidra itu secara spontan, serentak tercipta dan bergeraklah semua semesta di bawahnya (semesta cahaya, plasma, gas, cair, dan padat). Seperti huruf alif yang berada di dalam semua huruf hijaiyah, yaitu berupa garis. Di sisi lain, titik ba ( ب ) menjadi simbol microkosmos atau penduduk yang mendapatkan khitob *mengenal Allah* dalam hadits *kanzun makhfiy* tadi. Sebab, semesta selain manusia dan jin yang diberikan kehendak bebas, mereka tidak punya kewajiban berijtihad mengenal Tuhannya. Karena memang sejak diciptakan, mereka sudah lengkap dengan *software* ketaatan mutlak di dalam dirinya. Langit, gunung, laut, bulan, bintang, bahkan atom dan partikel, mereka hanya punya satu jalan, yaitu ketaatan tanpa peluang membangkang. Sedangkan manusia dan jin yang diberikan kehendak bebas, sebagai simbol titik ba atau mikrokosmos di semua dimensi, punya peluang tersesat atau taat.
Titik Ba menjadi tiga (3) simbol seperti di tulisan sebelumnya, *isim* sebagai Dzat Allah adalah *ahwal* sebelum huruf alif, huruf alif dan garis huruf ba (dan juga di huruf yang lain) adalah *fi'il*, dan titik ba adalah *hurf* / huruf (ciptaan-ciptaan). Di luar tiga simbol itu hanyalah transformasi dari tiga simbol tersebut. Maka banyak ayat-ayat yang berkata :
Az-Zariyat ayat 20
وَفِى الْاَرْضِ اٰيٰتٌ لِّلْمُوْقِنِيْنَۙ
Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin,
Az-Zariyat ayat 21
وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ
dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
Seakan Allah berkata : Dalam garis huruf alif dan ba, ada ayat-ayat-Ku, dan juga di dalam dirimu, yaitu titik ba. Sebagai simbol makro dan mikro kosmos, alam besar dan alam kecil.
Ada jalan menuju Tuhan dengan membaca alam besar, ada jalan membaca alam kecil, yaitu diri manusia, dan Qur'an atau kitab suci adalah "cara baca" untuk memahami alam besar dan kecil tersebut. Awalnya kita tak bisa membaca Qur'an, lalu kita belajar tajwid dan Tartil. Kemudian setelah kita mampu membaca Qur'an, ternyata kitab Qur'an yang kita baca adalah kunci untuk membaca Qur'an besar. Orang-orang yang alim mengatakan itu sebagai ayat kauliyah (kata-kata) dan kauniyah (semesta raya). Di balik itu, baik kitab Qur'an atau alam raya, keduanya adalah huruf-huruf hijayah dan titik yang diawali dalam huruf ba ( ب ).
Terakhir adalah teori titik kulminasi atau teori imamah. Bahwa dari titik ba, itu terdapat konfigurasi atau tatanan semesta yang se-rumit semesta besar. Bahwa tidak ada hal kecil lagi jika kita tahu apa yang ada di dalam dirinya, atau apa yang ada di belakangnya. Seperti satu benih padi, bisa jadi itu menjadi induk dari ribuan atau bahkan jutaan padi di masa depan. Seperti benih pohon buah (mangga) misalnya, bisa jadi dari satu benih akan tumbuh seribu buah, dan dari seribu buah akan berkali lipat jumlahnya di masa depan. Dalam titik ba ada semesta besar, dan di dalam semesta besar berisi titik-titik yang berawal dari titik ba, atau pengibaratan benih padi atau buah tadi.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi dasar memahami tulisan saya nanti yang berjudul *"Makna Batin Isra Mi'raj"*.
Kamis, 25 Januari 2024