"Wahai sahabatku, siapa saja diantara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka ia akan mendapatkan surgaNya Allah Ta’ala” (HR. Muslim).
Apakah ketika Utsman membeli sumur itu karena menginginkan balasan surga?
Ada banyak motif (alasan) seseorang melakukan suatu tindakan dalam kehidupannya. Dalam contoh kisah sahabat Utsman bin Affan itu, tidak dalam motif menginginkan surga seperti apa yang disabdakan nabi. Lalu apa? Lagi-lagi, ini tentang cinta. Bukan untuk surga, melainkan karena yang meminta adalah rasulullah, orang yang utama dicintai para sahabat dan ummat, beliau mau melakukan itu. Jika nyawa saja siap ditawarkan untuk nabi, maka bagaimana mungkin harta yang tak sampai 1/2 aset milik Utsman bin Affan itu tak berani beliau 'buang' : hadiahkan untuk nabi.
Akan sulit mencari pola yang sama dari umat rasulullah di zaman ini yang seperti Utsman : hanya dalam hal sedekahnya saja. Sebab, semua orang sudah begitu mudah terjerat cintanya pada harta, pada uang. Tidak dipungkiri, bahwa kita semua butuh uang. Jika pakai prinsip Stoik, harta benda adalah hal tidak penting yang lebih kita senangi memilikinya daripada tidak memilikinya. Di sisi lain, itu bukan hal penting. Kita tidak lantas mati atau binasa saat tak memiliki itu. Berbeda urusan ketika kita adalah pejuang yang selalu, turun temurun melayani umat manusia. Harta menjadi bagian penting dari perjuangan. Sekalipun misalnya, tanpa harta pun kita masih punya 'diri' yang bisa 'dikurbankan', harta tetap saja menjadi bagian penting. Kecuali, dalam kondisi berbeda, bentuk pelayanan 'berubah' seiring kondisi logistik yang ada. Tapi tetap saja, semangat perjuangan itu nomor satu. Sebab, berapa banyak orang-orang yang berharta namun tak memiliki semangat pelayanan sosial? Sebaliknya, memanfaatkan umat demi kepentingan diri dan kelompok, itu menjadi fenomena umum saat ini.
Kisah yang agak sama adalah Sumur Nabi Yusuf. Semacam 'kawah candradimuka' dalam kisah legenda Jawa. Suatu penjara, dalam kisah kera sakti diibaratkan neraka, yang 'mematangkan' seseorang menjadi diri versi terbaiknya. Entah apa yang menjadikan Nabi Yusuf di umur remaja tidak hilang akal sehatnya, ketika ia dilemparkan, dibuang ke dalam sumur. Bagaimana mungkin, seorang adik yang (umumnya) bergantung pada kakaknya, tidak stress saat orang-orang yang seharusnya menyayangi, justru menyakitinya dengan cara yang luar biasa.
Sumur, atau kawah candradimuka inilah yang menjadi titik awal 'mi'raj' Nabi Yusuf. Seperti pola hukum alam : _Siapa yang dijatuhkan sangat dalam, ia akan diangkat begitu tinggi suatu saat nanti_. Bisa jadi, pola pendidikan Nabi pada para sahabat-sahabat pilihannya adalah seperti 'penjara' sumur Nabi Yusuf tersebut. Mengurung nafsu, mengorbankan diri, meremehkan harta benda, dan hidup bagai orang asing di dunia ini yang tak terikat dengan kelezatan dunia.
Apakah ada seseorang yang dijatuhkan dan ia justru terpuruk dan binasa?
Ya, rata-rata manusia zaman ini mengalami itu. Hanya saja kita tak menyadari saja.
Senin, 1 Januari 2024 pukul 00:01