Esai Ramadan (1)
Istilah itu diartikan sebagai _tindakan manusia yang tak mungkin seutuhnya bersih_. Dalam istilah itu, para filsuf memberikan gambaran dilematis ketika seseorang harus mempertahankan moralitas / hukum, sedangkan kebaikan yang lebih besar justru hanya dapat dilakukan dengan cara melakukan pelanggaran terhadap sistem moral atau hukum tersebut.
Immanuel Kant, filsuf abad pencerahan eropa mencontohkan, jika seseorang melindungi orang yang mau dibunuh di rumahnya. Lalu ketika yang mau membunuh lewat dan bertanya, si pemilik rumah ini pasti dalam dilema (secara filosofis, meski kebanyakan kita mungkin tidak terpikirkan ini). Jika *jujur*, maka akan ada yang terbunuh, jika *bohong*, maka ia telah merusak moralitas dirinya sendiri. Kisah semacam ini juga pernah dialami Nabi Muhammad, ketika ada seseorang yang meminta berlindung ke rumah Nabi, sebab selain Nabi terkenal jujur ( al amin ), ia juga _nggak tegaan_. Lalu saat yang mau membunuh datang dan bertanya, Nabi bergeser duduknya lebih dulu sebelum ia datang, Nabi menjawab, "Demi Allah, sejak saya duduk disini, anda yang baru saya lihat,"
Tentu saja, ini tentang kecerdikan. Bagi orang-orang yang _open minded_, selalu mencari _second oponion_ dari tiap masalah yang dilematis. Dan yang dilakukan Nabi, itu benar-benar kecerdikan yang melampaui gambaran _dirty hand_ oleh Kant sebelumnya.
Bulan ini, umat muslim mengerjakan ibadah puasa selama sebulan. Puasa, seperti halnya sholat dan wudlu, sebenarnya adalah 'perayaan mandi besar', bulan pembersihan dari kekotoran-kekotoran selama 11 bulan sebelumnya. *Dirty hand* atau tangan-tangan kotor kita, kesalahan-kesalahan, baik personal atau pelanggaran moral untuk sesuatu yang (secara moral juga, tapi lebih tinggi) lebih besar bagi umat manusia, saatnya dibersihkan di bulan ini. Tidak ada manusia yang betul-betul suci, kita semua _punya noda_. Meski tak boleh juga, sisi lemah sebagai manusia itu kita jadikan alasan ketika melakukan kesalahan. Seperti nasihat populer : _Tiap orang suci punya masa lalu, dan tiap pendosa punya masa depan_. Tidak ada penghakiman yang seharusnya menjadikan seseorang putus asa. Setiap saat kita bisa berubah selama umur masih ada.
Wajar jika manusia cenderung ingin menjadi baik, meski pada faktanya justru sebaliknya. Banyak teman yang kalau curhat katanya ingin berhenti mabuk, berzina, judi online, tapi pada faktanya, _menumbangkan pohon besar bernama *kebiasaan buruk* itu tak semudah mencabut sehelai rumput_. Kebiasaan yang sudah menjadi karakter, kelak akan menjadi sebuah *takdir*. Maka sebelum keburukan sifat itu menjadi *pohon besar* dan menyeramkan, menjadi takdir yang hanya azab saja yang mampu menumbangkannya, momen puasa inilah _ruang_ terbaik untuk perubahan. Jika keburukan-keburukan sifat itu belum menjadi karakter, maka musibah sakit atau kehilangan harta benda mungkin menjadi cara pembersihannya. Tapi jika keburukan sifat sudah menjadi takdir, bagian diri dan hidup yang paling penting, maka hanya azab yang mampu membersihkan itu.
Kata _عذب_ ('azaba) memang secara harfiah diartikan sebagai sesuatu yang menyiksa, yang pedih, dan semacamnya. Tapi jika kata itu disambung dengan kata *ma-a* _ماء_ akan berarti air yang segar / tawar. Maka dosa atau pelanggaran-pelanggaran moralitas kita, mungkin diakibatkan seperti luka. Dan jika itu ingin diobati, dibasuh, maka pasti akan sangat pedih. Dan kepedihan akan membesar seiring dengan besar / dalamnya luka tersebut. Dan dalam bahasa Qur'an, itu disebut azab. Pembersihan yang paling menyakitkan. Seperti kata nasihat : *Bersihkan dirimu sebelum Tuhan membersihkannya dengan cara yang kamu tak menyukainya*. Di bulan puasa inilah momen untuk membersihkan tangan-tangan kotor kita : *as a dirty hand*.
Selasa, 12 Maret 2024