Kuda-kuda Rejeki dan Tali Kekangnya

Java Tivi
0

Zaman berubah. Semakin berpengetahuan, alim, sholeh seseorang, semakin ingin mendapatkan previledge dunia. Ahli maksiat mendatangi para ulama untuk mengenal Tuhan, sedangkan para ulama, diam-diam, di hatinya menginginkan dunia secara berlebihan.



Leluhur kita mengajarkan tentang kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Tiga hal itu adalah kebutuhan, dan seharusnya hanya sekedar cukup. Secukupnya berpakaian, secukupnya makan, dan secukupnya bertempat tinggal. Tiga hal itu menjadi rumit, ketika lebih dari sekedar butuh, melainkan _ingin_. Kita butuhnya pakaian yang sopan dan menutup aurat (misalnya), tapi keinginan meminta lebih dari itu. Aksesoris dan bermerk menjadi prioritas. Kita butuh makan, tapi _ingin_ makan yang mewah, ditempat yang privat. Tentu itu boleh, jika kemampuan kita untuk mencapai itu juga sebanding. Maka, keinginan menjadi bagian dari kebutuhan, dan berarti itu harus, selama kemampuan diri kita memenuhi syarat.


Alam semesta akan selalu cukup, ketika manusia juga mengeksploitasi alam hanya sebatas untuk kebutuhannya. Alam menjadi rusak, ketika kita mengambil 'rezeki' dengan cara merampas rezeki orang lain. Eksploitasi alam saat ini yang tak mempertimbangkan supply untuk generasi mendatang, sebenarnya bisa disebut sebagai perampokan. Kita merampok kesempatan hidup anak cucu kita sendiri. Kakek nenek macam apa yang bertingkah begitu?


Dalam quran kita tahu bahwa budaya mengumpulkan dan menambah-nambah kekayaan itu dilarang. _Jama'a mal aw wa addadah_. Ayat sebelum itu menggunakan diksi *aladzi* (الذي) tanpa *na* (ن), yang diancam adalah pribadi-pribadi, personal, bukan kelompok. Sebab, budaya mengumpulkan dan menambah-nambah adalah cara tercepat untuk menciptakan kejahatan sosial. Dilakukan oknum-oknum, dan seharusnya tidak boleh menjadi sistem sosial. Rezeki, dalam satu definisi adalah, konsumsi yang manusia dapatkan tanpa mengambil hak orang lain. Jika, hak orang lain, yang kita sebut sebagai zakat, infaq, sedekah, tidak diterapkan di masyarakat, maka akan terjadi ketimpangan sosial yang bisa berakibat fatal. Pencurian, perampokan, pembegalan, dan bahkan sistem pendidikan kita pun mengajarkan untuk mencari uang, sebab kengerian menjadi orang yang 'miskin rezeki'. Takut tidak bisa menumpuk dan menambah harta.


Di sisi lain, rezeki lebih utama adalah *apa yang bisa kita bagi untuk sesama*, bukan apa yang kita terima atau bahkan merasa memiliki. Mengapa? Sebab, seperti tiga hal di atas tadi : sandangan akan usang dan berganti hanya kain kafan, apa yang kita makan (pangan) akan menjadi kotoran, dan _papan_ (rumah, tanah, aset, dsb) akan beralih tangan. Maka, selain tiga hal itu, sebenarnya rezeki yang keempat adalah _pembagian_, _"qurban"_, rezeki yang kita bagi-bagi itulah yang akan selalu abadi.


Paradoksnya, semakin seseorang merasa cerdas, alim, sholeh, zaman ini menggodanya untuk semakin terdepan dilayani dunia. Uang, jabatan, penghormatan, kepopuleran, dan semacamnya, menjadi prioritas yang diam-diam memotivasi dalam jiwa. Jauh di bawah itu, orang-orang miskin tertipu. Meyakini bahwa kesholehan dan kealiman dicapai untuk mendapatkan dunia, seperti yang quran katakan tadi : _Jama'a mal aw wa addadah_.


Orang-orang miskin terjebak seakan seperti 'hamba kuda'. Jika kuda-kuda ibarat rezeki yang berada di banyak orang yang kaya, maka tali kekangnya yang pegang adalah Mikail (malaikat pembagi rezeki). Orang bodoh mengejar kuda, sedang pemegang tali kekangnya tak pernah mereka kenali. Terlebih lagi, *Penguasa para pemilik tali kekang kuda-kuda*, yaitu Tuhan, yang terasa semakin menjadi omong kosong di kehidupan nyata. 


*Mal* atau harta yang seharusnya _dialirkan_, mengalir terbagi-bagi agar tak terjadi ketimpangan dimana-mana, oleh orang alim ditumpuk-tumpuk tinggi, sedangkan orang-orang bodohnya semakin buta, bahwa bukan pada _kuda-kuda rezeki_ seharusnya mereka fokus, melainkan pada 'para pemilik pemegang tali kekang' yang maha kaya. Bahwa Mikail, malaikat pembawa rezeki itu, juga berada dalam kekuasaan Tuhan. Mengapa capek-capek mengejar kuda-kuda di banyak orang, sedangkan manusia bisa berdoa, _munajat_ (dari kata "ناج" yang berarti _menceritakan rahasia/bisik-bisik_), langsung dengan Sang Penguasa Alam. Menyadari bahwa apa yang diberi pada kita, selalu lebih sedikit daripada apa yang Tuhan siapkan untuk kita nanti. Dan apa yang Tuhan siapkan untuk kita nanti, itu jauh lebih baik daripada apa yang Tuhan berikan saat ini. Seakan-akan, mengenal Tuhan itu tak enak, karena cenderung miskin dan hidup sabar. Sebaliknya, ada rahasia yang tak bisa diceritakan oleh mereka yang benar-benar mengenal-Nya. Dan itu tak akan dipahami oleh 'para pemilik kuda-kuda' dunia.


Ahad, 9 Juni 2024

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)